Aku tak pernah melihat gunung menangis
Biarpun matahari membakar tubuhnya
Aku tak pernah melihat laut tertawa
Biarpun kesejukkan bersama tariannya ..
Sepenggal syair lagu dari group Band Payung Teduh sepertinya menggugahku utk membuka beberapa lembaran foto usang yg tak pernah tersentuh dan kotor oleh debu ..
Perjalanan yg melelahkan di medio 90 an oleh ku yg hampir tak pernah ku ceritakan kepada anak dan istri.
Sedih senang lelah dan mengantuk itulah kesan pertama yg aku alami ketika menjejakan kaki di sebuah gunung yg angkuh di jawa barat ..ya Gn Gede Pangrango
Berikut sedikit kutipan ttg gunung gede yg diambil dari wikipedia Indonesia ..
Kawasan Gunung Gede dan Gunung Pangrango sesungguhnya telah dikenal lama dalam dongeng dan legenda tanah
Sunda. Salah satunya, naskah perjalanan
Bujangga Manik dari sekitar abad-13 telah menyebut-nyebut tempat bernama
Puncak dan Bukit Ageung (yakni,
Gunung Gede) yang disebutnya sebagai "
..hulu wano na Pakuan" (tempat yang tertinggi di
Pakuan)
[1]. Agaknya, pada masa itu telah ada jalan kuno antara
Bogor (d/h Pakuan) dengan
Cianjur, yang melintasi lereng utara G. Gede di sekitar
Cipanas sekarang
[2].
Pada masa penjajahan
Belanda wilayah yang subur ini kemudian tumbuh menjadi area pertanian, terutama
perkebunan. Sedini tahun 1728
teh Jepang telah mulai ditanam, dan pada 1835 perkebunan teh ini telah dikembangkan di
Ciawi dan Cikopo. Menyusul pada 1878 dikembangkan
teh Assam, yang terlebih sukses lagi, sehingga mengubah lansekap dan perekonomian di seputar lereng Gede-Pangrango.
[2]
Kawasan Gede-Pangrango juga dikenal sebagai salah satu tempat favorit dan tertua, bagi penelitian-penelitian tentang alam di Indonesia. Menurut catatan modern, orang pertama yang menginjakkan kaki di puncak Gede adalah
Reinwardt, pendiri dan direktur pertama
Kebun Raya Bogor, yang mendaki G. Gede pada April 1819. Ia meneliti dan menulis deskripsi
vegetasidi bagian gunung yang lebih tinggi hingga ke puncak. Reinwardt sebetulnya juga menyebutkan, bahwa
Horsfield telah mendaki gunung ini lebih dahulu daripadanya; akan tetapi catatan perjalanan Horsfield ini tidak dapat ditemukan.
[3]
Dua tahun kemudian, melalui sehelai surat yang dikirimkan dari Buitenzorg (sekarang
Bogor) pada awal Agustus 1821,
Kuhldan
van Hasselt menyebutkan bahwa mereka baru saja menyelesaikan pendakian dan penelitian ke puncak Pangrango. Kedua peneliti muda itu menemukan banyak jejak dan jalur lintasan
badak jawa di sana; bahkan mereka menggunakannya untuk memudahkan menembus hutan menuju puncak G. Pangrango. Delapan belas tahun kemudian
Junghuhn mendaki ke puncak Pangrango pada bulan Maret 1839, dan juga ke puncak Gede dan wilayah sekitarnya pada bulan-bulan berikutnya, untuk mempelajari
topografi,
geologi,
meteorologi, serta
botani tetumbuhan di daerah ini.
[3] Sejak masa itu, tidak lagi terhitung banyaknya peneliti yang telah mengunjungi kawasan ini hingga sekarang, baik yang tinggal lama maupun yang sekadar singgah dalam kunjungan singkat.
Banyaknya peneliti yang berkunjung ke tempat ini tak bisa dilepaskan dari kekayaan dan keindahan alam di Gunung Gede-Pangrango, dan awalnya juga oleh keberadaan
Kebun Raya Cibodas; yang semula—ketika dibangun pada 1830 oleh
Teijsman—sebetulnya dimaksudkan sebagai kebun aklimatisasi bagi tanaman-tanaman yang potensial untuk dikembangkan dalam perkebunan. Kebun, yang kemudian dikembangkan menjadi
kebun raya (lk. 1870), ini menyediakan tempat menginap yang cukup baik, sarana penelitian, serta catatan-catatan dan informasi dasar yang terus bertumbuh mengenai keadaan lingkungan dan hutan di sekitarnya. Pada tahun 1889, atas usulan
Treub, sebidang hutan pegunungan seluas 240 hektare di atas kebun raya tersebut hingga ke wilayah sekitar Air Panas ditetapkan sebagai
cagar alam oleh Pemerintah
Hindia Belanda.
[4] Inilah cagar alam dan
kawasan konservasi ragam hayati yang pertama didirikan di Indonesia
[5]. Belakangan, pada 1926, cagar alam ini diperluas hingga mencakup puncak-puncak gunung Gede dan Pangrango, dengan luas total 1.200 ha
[4].
Bersama dengan meningkatnya kesadaran mengenai pentingnya lingkungan hidup, pada tahun 1978 Pemerintah Indonesia menetapkan Cagar Alam (CA) Gunung Gede Pangrango seluas 14.000 ha, melingkup kedua puncak gunung beserta tutupan hutan di lereng-lerengnya. Kemudian pada 6 Maret 1980 cagar alam ini digabungkan dengan beberapa suaka alam yang berdekatan dan ditingkatkan statusnya menjadi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango—satu dari lima
taman nasionalyang pertama di Indonesia, dengan luas keseluruhan 15.196 ha. Dan akhirnya, melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan nomor 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 tentang
Penunjukan dan Perubahan Fungsi Kawasan Cagar Alam, Taman Wisata Alam, Hutan Produksi Tetap dan Hutan Produksi terbatas pada Kelompok Hutan Gunung Gede Pangrango, kawasan TN Gunung Gede Pangrango memperoleh tambahan area seluas 7.655,03 ha dari
Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, sehingga total luasannya kini menjadi 22.851,03 ha
Nuansa alam yg indah membuat siapapun akan merasa dekat dgn Pencipta ...ini mengingatkanku akan kata kata Indah dari Alkitab
" Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya.
+ Bahkan ia menaruh waktu yang tidak tertentu dalam hati mereka,
+ agar manusia tidak pernah dapat memahami pekerjaan yang dibuat oleh Allah yang benar sejak permulaan sampai akhir. - Peng 3 : 11